Minggu, Desember 28, 2008

BERTANAM PARIA METHODE PAK ANDI

JAM TERBANG yang dijalani selama lima belas tahun dalam bertanam paria, kiranya cukup bagi pak Andi untuk mengenal tanaman ini, mulai dari budidaya sampai pemasarannya. Karena kepakarannya ini, akhirnya ia dijuluki sebagai ‘petani paria’ dari Singkawang-Utara. Baginya berbagai tanaman dan sayuran serta ternak diusahakan sebagai pengisi pundi-pundi pendapatan keluarganya. Namun julukan “Andi si petani paria” sudah menjadi brand-image bagi dirinya oleh berbagai kalangan.
Pak Andi bermukim di Semelagi Kecil, Singkawang Utara, Pemkot Singkawang, Kalbar. Buah parianya merambah pasaran, hingga ke berbagai daerah di Kalbar. Padahal luas tanamannya hanya terdiri 3 (tiga) petak, yang masing-masing berukuran 15 m X 40 meter. Yang menjadi keunggulan perianya adalah kontuinitas produksi dan suply ke pasaran. Menurutnya, agar tercapai hal itu, maka tiga petak itu dibuat bergilir. Artinya kalau petak pertama lagi produksi, maka disiapkan petak lainnya agar siap berproduksi untuk menyambung suply.
Pengaturannya dibuat sedemikian rupa, caranya kebun diatur berjauhan, minimal 500 meter, ini agar hama-penyakit tidak menjangkau petak lainnya. Karena petak yg sudah berproduksi perlu diistirahatkan atau ditanami dengan sayuran lainnya, misalnya mentimun, buncis atau lainnya.
Sistim budidaya yang dilakukan oleh Andi (45 tahun) adalah tanah seluas 600 M² dicangkul dan dibuat guludan (sebagaimana dalam photo). Setiap guludan bagian atas ditambahkan pupuk kandang asal ternak sapi, sebanyak 1 kg, ditambah NPK sebanyak 100 gram, yang diletakan pada calon tanaman peria dan dicampur merata.
Agar kelembabkan cukup guludan/galengan tersebut ditutup mulsa dari batang padi atau apa saja yang kiranya sesuai. Kenapa? Karena menurut Andi, tanaman ini senang dengan kelembaban tanah yang optimal. Dan kenapa Andi memilih pupuk kandang sapi, karena pupuk kandang jenis sapi ini sangat baik menyimpan air. Lalu, dibuatlah para-para untuk merambatkan tanaman paria dengan bahan yang sesuai dan ada di sekitar kita.
Teknik penanaman dimulai dengan pemilihan biji-biji peria yang dianggap baik sebagai bibit, disemai ditempat khusus, yakni di atas bedengan yang tak terlalu jauh dari kebun. Nah, bibit paria yang baik untuk pindah di kebun, menurut Andi, adalah setelah berkecambah atau tumbuh dan masih dalam kondisi bengkok atau menyerupai tanda tanya (?).
Dengan bibit seperti kondisi ini, menurut Andi, akan tumbuh seragam dan tak mungkin layu atau mati. Menurut Andi, kiat pindah tanam ini belum dikuasai petani lainnya. ”Makanya tanaman paria saya tumbuh seragam dan tak pernah saya melakukan penyulaman,” akunya bangga kepada kami. ”Ilmu ini saya buka hanya kepada pak Penyuluh saja.” katanya tersenyum penuh arti.
Pemeliharaan tanaman peria menurut Andi, terdiri: dari merambatkan tanaman ke para-para melalui perantara ajir pada setiap tanaman. Membuang tunas-tunas sebelum menjangkau para-para, pengendalian HP, pemupukan dengan cara disiramkam seminggu sekali dengan dosis larutan 1 %, sedangkan 3 hari sekali setelah panen dengan dosis 2 %. Tentang dosis pemupukan, menurut Andi, hanya pemilik kebun yang tahu dengan kapasitas renponsivness tanah/tanaman terhadap pemupukan. Namun cara pemupukan yang dilakukan Andi adalah pada setiap selesai pemetikan hasil, yakni dgn interval 3 (tiga) hari sekali. Ia melakukan pemupukkan dengan cara mencampur NPK (15-15-15) sebanyak 200 gram ke dalam 10 liter, lalu disiramkan di sekitar batang tanaman parianya.
Dari seluas lahan yang masing-masing 600 M² tersebut hanya dapat dibuat guludan 25 buah dengan panjang 15 meter. Dengan jarak tanam 60 cm x 60 cm, maka setiap guludan hanya maksimal terdiri dari 25 tanaman peria saja, atau setiap petak seluas 600 M² hanya terdiri dari 625 tanaman peria.
Dari hasil panen, sebanyak 16 kali pemetikan, Andi mencatat hasil 1.625 kg dengan harga jual di agen sayuran Rp. 3.500,-per/kg. Maka total pendapatan kotor Andi mencapai Rp. 5.687.500,- pada setiap petak seluas 600 M² tersebut. Dalam setahun Andi bisa bertanam sebanyak tiga kali tanam peria, sehingga pendapatan kotornya Rp. 17.035.500. Nah, berapa pendapatan bersih Andi dari perianya dalam satu periode tanam? Kalkulasi biaya usaha-tani peria versi pak Andi, dapat disimak sebagaimana tabel di bawah ini.
1. Bibit Peria (milik sendiri), banyaknya 1,5 Kg, senilai Rp. 60.000,-
2. Pupuk NPK , 30 Kg, senilai, 135.000,-
3. Insektisida, 1,5 liter, senilai Rp. 120.000,-
4. Sozo-1, 4 botol @ 10 cc, senilai Rp. 60.000,-
5. Pembuatan Guludan (Ngupah), 375 meter, senilai Rp. 750.000,-
6. Pembuatan para-para (Sendiri), 600 M2, senilai Rp. 200.000,-
7. Pembelian ajir 625 batang, senilai Rp. 31.250,-
8. Biaya tanam (Sendiri), 2 HOK, senilai Rp.40.000,-
9. Penyemprotan hama (Sendiri), 2 HOK, senilai Rp. 40.000,-
10. Biaya Panen (Sendiri), 15 HOK, senilai Rp. 300.000,-
11. Pupuk Kandang sebanyak 600 kg, senilai Rp. 120.000,-
12. Jumlah total biaya tersebut adalah Rp. 1.856.250,-
Menurut Andi, biaya produksi perdana dalam perhitungan agak besar, karena harus dikeluarkan biaya pembuatan galangan/guludan, pembuatan para-para serta pembelian ajir. Namun untuk selanjutnya, tidak. Karena guludan, para-para dan ajir bisa digunakan sampai 4 (empat) kali periode tanam. Menurut Andi, harga jual perianya paling rendah perkilo Rp. 3.500,- di ambil oleh agen di rumahnya. Sedangkan pengecer di pasar menjualnya dua kali-lipat. Tapi pada bulan puasa harga bisa mencapai Rp. 7.000, maka keuntungan bisa berlipat lagi, katanya.**

TANAM JAGUNG MANIS SISTIM GALANGAN

HAJI JUMADI dapat untung berlipat bertanam jagung manis dengan sistim galangan di lahan usaha taninya. Ia tanam jagung manis (sweet corn) varietas sweet-boy secara bertahap, sehingga dalam setahun jagung manisnya mencapai luasan 3 hektar.
Dengan ketekunannya, Haji Jumadi berhasil membeli dua buah kendaraan roda empat second. Menurut data di Singkawang, Haji Jumadi merupakan satu-satunya penanam jagung manis yang terluas. Kebunnya berada di Pasir Panjang, Sedau Skw Selatan, dalam lintasan jalan raya provinsi. Melalui cara tanam bertahap dari petak ke petak, akhirnya Jumadi bisa bertanam seluas 3 hektar jagung manis.
Bermula ketertarikan harga jagung manis di pasaran, maka atas saran BPP ia mencoba bertanam di guludan atau galangan bekas tanaman sayurannya। Sistim galangan yang dimaksud adalah tanaman jagung ditanam di galangan bekas tanaman buncis atau kacang panjang. Galangan ini dibuat karena lahan haji Jumadi sebetulnya merupakan tanah sawah. Besarnya galangan berkisar lebar 35-40 cm dengan tinggi disesuaikan, yang diperkirakan tak bakal digenangi air. Kemudian jarak antar galangan mencapai rata-rata 110 cm.
Nah, galangan yang dibuat ini ternyata bisa untuk delapan kali bertanam jagung dan sayuran secara berselang seling. Memang dalam pembuatan galangan 1 hektar sepanjang 4.400 meter saja dengan upah mencapai Rp. 3.520.000,- Tapi secara kalkulasi menjadi sangat murah, karena bisa delapan kali periode tanam cukup satu kali membuatnya.
Teknis spesifik yang diterapkan oleh Haji Jumadi dalam bertanam Jagung Manis varietas Sweet-boy ini adalah adanya penambahan Pupuk kandang ayam 37,5 karung @ 40 kg. Pupuk ayam ini diletakan sekitar calon benih jagung tiga hari sebelum tanam (H-3). Pengolahan lahan bertujuan mengaduk pupuk kandang + NPK yang letaknya diatas sepanjang galangan. Kemudian jarak tanam yang diterapkan dalam galangan adalah 25 x 25 cm dengan cukup satu biji saja. Sehingga dalam satu hektar diperlukan 18,75 Kg benih jagung. Namun jagung yang muncul rata-rata dua tongkol. Saat panen rata-rata satu kg berjumlah empat tongkol.
Haji Jumadi bisa memulai panen jagung manisnya 65 hari setelah tanam. Produksi keseluruhan perhektar mencapai 8.250 Kg jagung manis berupa tongkolan. Sedangkan harga jagung manis tongkolan diambil oleh pengumpul dikebun Rp 2.500,- perkilo, sehingga pendapatan kotor Haji Jumadi mencapai Rp. 20.625.000,-,- setiap hektarnya. Cukup menggiurkan !
Total perhitungan analisa usaha tani (AUT), luasan 3 hektar jagung manis milik Haji Jumadi berjumlah Rp. 42.967.500,- dengan rincian biaya persatu-hektar sbb:
a. Modal Kerja (Rp. 6.302.500 / hektar)
Benih jagung 18,75 Kg 2 Rp. 28.000,- = Rp. 525.000,-
Pupuk kandang (TA) 37,5 Karung @ Rp. 8.000,- = Rp. 300.000,-
Pupuk NPK 25 Kg @ Rp. 5.000,- = Rp. 125.000,-
Urea 125 Kg @ Rp. 1.700,- = Rp. 212.500,-
Insektisida 3 Liter a Rp. 50.000,- = Rp. 150.000,-
Pembuatan galangan 4.400 depa @ Rp. 800,- = Rp. 3.520.000,-
Menyemprot 25 org @ Rp. 15.000,- = Rp. 375.000,-
Merumput 20 org 2 Rp. 15.000,- = Rp. 300.000,-
Upah Tanam 14 org @ Rp. 15.000,- = Rp. 210.000,-
Memupuk 14 org @ Rp. 15.000,- = Rp. 210.000,-
Memanen 25 org @ Rp. 15.000,- = Rp. 375.000,-
b. Produksi satu hektar mencapai 8.250 Kg jagung tongkolan.
c. Harga perkilogram jagung tongkolan Rp. 2.500,-
d. Pendapatan Haji Jumadi Rp. 20.625.000,-
Nah, dengan kejelian merotasi tanaman, dan melihat pangsa pasar, tanaman jagung manis Haji Jumadi bisa menghasilkan income yang cukup lumayan. Dengan sistim galangan ini, Haji Jumadi menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda.
”Karena pengolahan tanah hanya sekali,” katanya, ”Setelah tanam sayuran sekali, kemudian ditanam jagung-manis berkali-kali. Saya suka tanam sweet-corn ini, karena mulai umur 65 hari sudah petik hasil dan menghasilkan uang.” katanya bangga.
”Sebagai contoh,” katanya melanjutkan, ”Kemarin saya panen jagung manis seluas 25 meter x 48 meter hasinya mencapai 1.460 Kg dengan harga jual perkilonya Rp. 3.000,-’kan lumayan, pak Yanto . . . !”
”Iya, tentu pak Haji. Apalagi pembeli ambil di kebun seperti ini!” kata kami.”Memang petani seperti pak Haji ini patut diacungi jempol, pantas diteladani petani lain yang belum berhasil. Memang kuncinya harus pandai memperkirakan pangsa pasar, agar jatuh pada saat jagung manis tak disuplay petani kebanyakan.”
”Lho iya, pak Yanto. Kalau semua petani ikut-ikutan tanam hanya satu jenis, tentulah waktu panen melimpah, pasti harga jatuh. Memang begitulah hukum ekonomi, pak Yanto, ya?”
”Iya. Jadi setiap pak Tani harus punya kalender atau jadwal komoditi ketika harga bagus. Jadi harus tahu harga cabe bagus bulan berapa. Harga Timun yg bagus bulan berapa, harga bengkoang yg bagus bulan berapa. Juga disarankan setiap petani jangan bertanam hanya satu jenis komoditi. Sebab dengan melakukan diversifikasi komoditas, akan mengurangi resiko gagal, bahkan kita tak pesimis dengan gejolak harga. Ya, banyaknya tanaman atau seringnya kita panen, maka kita akan sering senyum, karena akan kena pada giliran harga bagus.”
”Betul, pak, sudah saya lakukan, memang begitu!” kata pak Haji Jumadi. Kami pamit dengan sarat bawaan Jagung, buncis dan Lobak sebagai oleh-oleh dari beberapa petani
"Trims, pak Haji . . . . !”
Dan kepuasan seperti inilah jika kami berkunjung di lapangan. Cape berkeringat, tapi meriah dan seneng. Pak tani pun gembira.***

Rabu, Desember 24, 2008

SAATNYA ANDA KENAL PERTANIAN ORGANIK

PERTANIAN modern berbasis organik pada akhir-akhir ini ramai dibicarakan pakar dan petani dunia. Disadari, bahwa pertanian modern dalam dua dekade terahir perlu dibenahi dengan tidak lepas memperhatikan kelestarian alam. Penggunaan pestisida yang berlebihan, pupuk kimia, alat dan mesin modern disinyalir penyebab timbulnya degradasi alam sekitar.

Namun pertanian tradisional pun menyumbangkan kerusakan terhadap mutu lingkungan. Kegiatan pertanian tradisonal ini bermula menebang hutan, membakar, setelah dua kali budidaya-tanam, lokasi ditinggalkan. Begitu seterusnya. Maka kita jumpai terjadinya penurunan mutu alam, seperti mudahnya kebakaran hutan, banjir, erosi, longsor dan kekeringan. Peladangan berpindah ini menurut data FAO masih dilakukan oleh 1,4 milyard orang yang tersebar di Asia, Aprika dan Amerika latin.

Tulisan ini hanya bermaksud memberikan pencerahan kepada produsen dan konsumen. Sebab di satu sisi, mungkin petani produsen akan merasa terpojok, karena diinfokan, bahwa produknya berbahaya bagi kesehatan. Namun disisi lain, konsumen pun perlu diberikan informasi yg benar. Mereka harus tahu, bagaimana sih memilih produk atau ‘mengamankan’ produk yg akan dikonsumsinya? Jadi penulis ingin memberikan perimbangan yg wajar, sehingga petani sebagai produsen menghasilkan produk dan bisa tetap laku, namun pembeli (konsumen) bisa tahu cara ‘menjinakan’ atau mengamankan sayuran atau buah bagi kesehatannya. Dengan demikian, konsumen punya ‘hak’ mengetahui dan tahu solusi, namun para petani (produsen) tetap eksis memproduksi komoditasnya tanpa kendala pemasaran.

Mari kita kembali ke topik Pertanian Organik.

Pada pertanian modern dijumpai penyimpangan aplikasi pupuk kimia yang berlebihan, aplikasi pestisida yang tak bijaksana, penggunaan alat-panen dan prosesing produk, sehingga terjadinya degradasi, berupa marjinalisasi tanah, resurgensi hama, serta hilangnya kwantitas dan kualitas/nutrisi produk.

Dampak buruk penggunaan pestisida berlebihan kita temui di centra produksi sayuran semusim. Merajalelanya hama, akibat tidak dilakukannya rotasi tanaman, menyebabkan keputusan petani cenderung kepada pemakaian pestisida. Bisa dibayangkan jika produk tersebut dikonsumsi dalam kondisi bahan aktif pestisida masih melekat.

Pengamatan penulis 2002, ketika meneliti dampak penggunaan pestisida yg bersifat kontak, bahwa hasil laboratorium mengatakan, residu pestisida hanya dapat hilang jika dicuci dengan larutan-air deterjen. Dengan larutan ini sayuran sawi dan buah bisa netral dan aman dikonsumsi.

Mengapa demikian? Ternyata, petani kita berlebihan dalam aplikasi pestisida, baik dosis dan waktu atau interval penyemprotan. Bisa dibayangkan, baru aplikasi dua-tiga hari, sudah dijual ke pasaran! Nah, residu insektisida ini masih menempel pada sayuran ketika dipanen. Akibatnya, saat dikonsumsi ikut termakan, menempel pada kulit dan terhirup melalui pernapasan manusia.

Keracunan insektisida ini bisa akut dan kronik. Keracunan akut yaitu yang mengakibatkan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis tunggal insektisida. Sedangkan keracunan kronik karena penderita terkena racun dalam jangka waktu panjang dengan durasi yang sangat rendah. Gejala keracunan baru terlihat beberapa hari, bulan, bahkan beberapa tahun setelah penderita terkena racun. Maka disinyalir kuat, bahwa kita saat ini berada pada periode chemicalization. Sekarang ini kita diintai dengan berbagai macam bahan kimia. Bahkan gaya hidup modern membuat kita terus menerus menghadapi polusi, bahan kimia, tress dan pola makan yang tidak sehat. Akibatnya seiring dgn waktu berbagai macam gangguan kesehatan tubuh pun bermunculan.

Dalam berbagai info dan jurnal berhasil penulis telusuri, bahwa bahaya akibat pestisida yang termakan dan terakumulasi dalam tubuh, berakibat timbulnya antara lain: 1). Karsinogenik, yaitu pembentukan jaringan kanker, oleh karena itu orang yang mengkonsumsi banyak sayuran tidak menjamin bebas dari kanker. 2) Mutagenik, yaitu kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang. Oleh karena itu tidak heran dewasa ini meningkatnya peyakit down syndrome dan autisme.3) Teratogenik yaitu kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan, dewasa ini banyak anak yang lahir bibir sumbing, tuna rungu dan lainnya.

Namun contoh bagus ditunjukan petani di Subang, Jabar, dalam mengendalikan hama padi dengan pestisida alami buatan sendiri. Juga petani di Pontianak Utara dan baru-baru ini di Roban kota Singkawang, dimana dalam pengendalian hama sayuran menggunakan “racun hama” buatan sendiri. Mereka meramu pestisida alami dengan bahan-bahan sekitar pemukimannya. Misalnya untuk memberantas ulat Plutella Maskulipenis SP diraciknya: buah mengkudu matang, daun nangka, tembakau dan sedikit sabun dihancurkan dan dilarutkan dengan air secukupnya.

Kemudian setelah disaring semprotkan pada sawi, bayam dan kangkung. Selain itu penggunaan pupuk kimia dibatasi, sebaliknya penggunaan abu-bakar dan pupuk kandang sapi, ayam, kambing, kerbau, dll, diperbanyak. Jadilah sayuran yang dihasilkannya disebut “sayuran organik”. Produk seperti ini dicari konsumen dan sedang ngetren di pasar tradisional, bahkan Mall-Mall di Pontianak.

Filosopi pertanian organik itu sendiri adalah memberikan “makan tanah”, agar tanah dapat memberikan “makan tanaman”, selanjutnya dari tanaman menghasilkan produk yang dapat dimamfaatkan manusia. Pertanian organik sendiri adalah upaya memberi kebugaran kepada tanah dan tanaman dengan jalan pengembaliaan bio-masa, kompos, pupuk hijau, pupuk kandang serta mengendalikan hama penyakit dengan prinsip pengendalian hama-penyakit secara terpadu.

Pakar lainnya mendefinisikan, bahwa Pertanian Organik adalah sistim produksi yang menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk kimia, pestisida, zat pengatur tumbuh dan aditif pakan.

Sambutan masyarakat terhadap pertanian Organik tidak terlepas dari kecenderungan masyarakat yang mulai sadar terhadap kebutuhan nutrisi yang ramah lingkungan. Menurut Hamm tahun 2000, tingginya permintaan produk pertanian organik antara lain adalah: (1) Menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) Dukungan kebijakan pemerintah dan LSM, (3) Dukungan Industri pengolahan pangan, (4) Dukungan pasar konvensional, (5) Adanya harga premium di tingkat konsumen (6) Adanya label generik, dan (7) Adanya kampanye nasional PO (Pertanian Organik) secara gencar.

Upaya tersebut belum mampu menjawab permintaan masyarakat dunia yang sadar akan pentingnya mengkonsumsi produk organik. Sebagai ilustrasi, bahwa pertumbuhan permintaan produk Pertanian Organik di dunia mencapai 20% setiap tahunnya. Namun pangsa pasar hanya sanggup memenuhi 2 % saja. Di Eropa penambahan luas areal pertanian organic 2-7 %, di Australia 10 % setiap athunnya, namun tetap saja belum mampu memenuhi permintaan konsumen (Jolly, 2000). Inilah yang kemudian memacu permintaan produk Pertanian Organik dari Negara-negara berkembang.

Kesadaran petani saat ini mulai muncul untuk menerapkan Pertanian Organik, namun masih terbatas pada lingkungan tertentu. Hal ini dikarenakan sulit menyampaikan informasi pertanian organik kepada petani lain, dan sulitnya memasarkan produk PO. Ada juga yang takut menerapkan Pertanian Organik, karena hasilnya tak bisa dipasarkan. Image lain, karena produk Pertanian Organik merupakan produk yang tak umum. Juga posisi petani lebih sulit daripada pedagang, karena tak punya posisi tawar yang kuat.

Banyaknya kendala penerapan Pertanian Organik di Negara Berkembang, termasuk Indonesia, dikarenakan persepsi, sistim pemasaran dan culture petani tersebut diatas.Juga adanya kendala yang ditelaah lebih jauh, yang berakar dari kesangsian mengenai kemampuan Pertanian Organik sendiri dalam memecahkan persoalan pemenuhan pangan dan keberlanjutan kehidupan. Alasannya karena produktifitas Pertanian Organik lebih rendah, sehingga tak dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan cepat. Alasan lain beranggapan bahwa Pertanian Organik adalah pertanian masa lalu yang tak produktif, dan di tingkat tertentu berkesan anti teknologi.

Bagaimana pun PO harus menjadi perhatian petani sebagai produsen dan sekaligus konsumen, sebab berbagai penelitian mengarah kepada anjuran agar kita bersikap bijaksana dalam mengelola lingkungan dan tanggung jawab kita terhadap kesehatan masyarakat.

Sebagai informasi di Singkawang pernah dilakukan uji colinestrase terhadap darah petani, yg dilakukan Dinas Kesehatan kota Singkawang 2006, 2007 dan 2008 menunjukan, bahwa petani sayuran di kelurahan Sijangkung, Sedau dan Roban sudah terkontaminsi pestisida dari mulai yang ringan sampai berat. Nah, bagaimana masyarakat yg tak tahu menahu sebagai pembeli, juga mengkonsumsi produk tersebut?

Dari pengujian yang dilakukan 2002 oleh mahasiswa Unitomo Surabaya dan Penulis terhadap cara dan bahan membasuh (mencuci) yg effektif terhadap sayuran sawi, didapat kesimpulan, bahwa sawi akan aman sebagai lalapan atau sebagai sayuran, jika telah dibasuh menggunakan larutan deterjen kemudian dibilas dengan air bersih.

Sebelumnya percobaan membasuh dilakukan dengan berbagai air, tetap tak effektif, dimana residu atau BA (bahan aktif) pestisida masih dalam batas berbahaya. Air-air dimaksud adalah air tanah, air hujan, air mengalir dan air ledeng (PDAM).

Hasil penelitian diketahui setelah dilakukan uji laboratorium. Ternyata cara jitu didapat jika dilakukan pencucian dengan larutan deterjen, lalu lakukan dan 2 atau 3 kali pembilasan. Dengan methode itu, sawi dan sayuran lain aman dikonsumsi. Dengan telah diketahui methode ini, maka konsumen “jangan takut lagi!”

Untuk tahap pertama penerapan PO di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat, tapi pada mulanya di Negara maju pun berjalan merangkak. Hal ini perlu dimotori oleh LSM, pecinta lingkungan hidup, atau good-will dari Departemen Pertanian sendiri serta pemda setempat.

Dengan demikian menjadi lebih jelas, bahwa pengembangan pertanian organik bukan sekedar bagaimana petani menjadi lebih sejahtera atau lingkungan menjadi sehat, tetapi juga soal demokrasi ekonomi, soal merubah paradigma, soal pembebasan manusia dari bombardir bahan kimia yang mengelilinginya.*

Selasa, Desember 23, 2008

SAYURAN ORGANIK DI LAHAN GAMBUT

Lahan Gambut adalah media tanam dengan pH rendah, atau orang awam bilang: "Tanah dengan tingkat keasaman tinggi, serta kandungan unsur hara yang miskin". Hal ini dikarenakan unsur hara makro (NPK) dan mikronya terikat. Bahkan unsur AL (alumunium) dan Fe (besi) bersifat racun, sehingga memerlukan penanganan khusus dan ektra perlakuan. Tiori dan informasi tentang gambut demikian angker, sebab sepertinya yg akan tumbuh hanya tanaman tertentu saja.
Namun tak sulit bagi ibnu Hajar (40) menaklukan gambut. Ia seorang petani sayuran yang disambangi penulis pada saat field-trip Fenomena Gambut. Ia juga ketua Poktan Khatulistiwa di jalan 28 Oktober, Kelurahan Siantan Hilir pinggiran Kota Pontianak. Baginya begitu mudah jinakan gambut dengan caranya yang enteng saja!
Ini dibuktikan dengan kondisi berbagai tanaman sawi, bayam dan kangkungnya yang subur di kebunnya. Dia dan kelompok-taninya bisa menghasilkan dan menjual bermacam-macam sawi, kangkung dan bayam dari kebunnya yang berjenis gambut. Rahasia menjinakan gambut adalah dengan menerapkan organik farming (pertanian organik) dan pengendalian hama penyakit dengan pestisida alami buatannya sendiri.
Di kebunnya, yang dapat dibuat sebanyak 100 petak itu, masing-masing petak berukuran lebar 1,2 m dan panjang 5 m (6M²). Ia melakukan pencampuran bahan berupa abu bakar dan pupuk kandang yang berasal dari kotoram ayam.
Diakuinya, bahwa pengolahan lahan yang baru dibuka atau pertama pertama cukup banyak memerlukan bahan organik dan pupuk kandang, maka hal itu berpengaruh terhadap biaya produksi. Namun seterusnya, atau pada penanaman kedua, biaya dan pengolahan gambut tidak seberat saat bertanam sayur yang pertama kalinya.
Pada pertanaman yang kedua dan seterusnya, cukup menggunakan pupuk organik dan abu-bakar sepertiganya (1/3). Jadi kalau dikalkulasi memerlukan biaya perbedeng + Rp. 8.000,- saja.
Untuk lahan gambut yang baru diolah, seluas 6 m², diperlukan pengolahan tanah sedalam 10-15 cm saja. Kemudian diperlukan abu bakar 40 Kg dan pupuk kandang kotoran ayam sebanyak 10 Kg. Karena yang mau ditanam adalah sayuran yang menghasilkan daun, maka ibnu Hajar menambahkan Urea sebanyak 2 ons. Jadi biaya (cost) seluruhnya adalah + Rp. 24.500 dengan rincian pembelian abu-bakar Rp. 20 Ribu, pupuk kandang Rp. 4 ribu, dan Urea + Rp. 500,- Ketiga jenis bahan itu ditaburkan merata, dan seterusnya diaduk dengan media gambut yang sudah dicangkul tadi. Setelah itu dijemur atau dibiarkan selama dua hari. Kemudian pada hari ketiga dibuat bedengan dengan ukuran 1,2 m x 5 m atau seluas 6 m². Tinggi bedengan cukup 10 cm saja. Untuk mengendalikan air diperlukan pembuatan parit di sekeliling kebun, sehingga petakan, tampak kering dan kondisi lahan kebun berstruktur remah.
Pada hari ke 4 (empat) setelah tanam bibit, dilakukan pemupukan susulan bahan organik di sekeliling tanaman sawi, bayam atau kangkung. Takaran pupuk organiknya terdiri dari abu-bakar 3 kg dan pupuk kandang berupa kotoran ayam yang sudah kering sebanyak 3 kg.
Setelah pemupukkan susulan ini, tidak dilakukan pemupukan lanjutan hingga panen pada umur + 30 hari. Yang ada, adalah pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida alami yang diraciknya sendiri.
Adapun Formulanya terdiri dari: temulawak sebanyak 2 ons, buah mengkudu yg masak 1 buah, dan tembakau (bisa puntung rokok) sebanyak 15 gram - 20 gram.
Ketiga bahan itu ditumbuk atau dihancurkan, lalu ditambahkan air sebanyak 50 cc. Setelah jadi, kemudian disaring dan dilarutkan atau dicampurkan dengan 15 liter air. Aplikasinya disemprotkan pada tanaman sayuran hingga merata. Selama siklus hidup sayuran sawi keriting, hijau, putih, sawi manis dan kangkung, cukup dua kali atau menurut kondisi perkembangan hama penyakit.
Panen sayuran organik, menurut Ibnu Hajar, bisa lebih cepat. Bahkan konsumen membeli atau agen sayuran mengambil produksinya di kebun. Terkadang mulai umur 25 hari setelah tanam. Perkilogram sawi keriting dijual seharga Rp 2.500, sawi hijau Rp 2.000, sawi putih Rp. 2.250 dan kangkung Rp 2.000.
Pada setiap bedengan seluas 6 m² tanaman sawi hijau bisa mencapai produksi + 30 kg, sawi keriting mencapai + 25 kg, sawi putih + 30 kg dan kangkung mencapai + 30 kg.
Menurut analisa usaha tani, perbedeng menghasilkan pendapatan kotor Rp. 62.500 (sawi keriting), Rp. 60.000 (sawi hijau), Rp. 67.500 (sawi putih) dan kangkung Rp 60.000. Bahkan keuntungan bersih pada penanaman yang kedua dan seterusnya, bisa mencapai 70 % - 80 % dari biaya produksi. Hal ini hanya memerlukan waktu 30 hari saja. Ternyata penanaman sayuran organik di lahan gambut cukup menjanjikan juga.
Penampilan sayuran organik akan terlihat daunnya lebih lembut dan hijaunya khas. Produk seperti ini diminati konsumen, apalagi bagi orang yang punya kebiasaan makan lalapan segar. Trend pertanian organik akan terus meningkat, karena kecenderungan peningkatan pengetahuan masyarakat dan gencarnya penomena hidup kembali ke alam (Back to Nature).
Menurut ibnu hajar, kelompok-taninya pernah mensuply sayuran ke super market di kota Pontianak, namun karena ada diantara produsen tidak konsisten menerapkan organik farming, maka Mall dan Super Market belum berminat melanjutkan kerjasama menjualkan sayuran kelompok-taninya.
Ternyata saat dievaluasi, disebabkan pasokan tidak berkesinambungan, suply selalu dalam volume kecil, anggota tak memegang ‘komitmen’ dalam menjaga mutu dan standar sayuran yang dipasok ke Mall itu. Ada beberapa anggotanya ketahuan menggunakan pestisida dalam pengendalian hama penyakit.
Memegang komitmen bagi petani pun ternyata penting. Namun untuk jinakan gambut, ternyata tak begitu susah. Jadi tak harus lahan gambut tanpa tanaman di sekitar kita.***

Senin, Desember 22, 2008

JAGUNG “SINGKAWANG” ALA GORONTALO


“SIAPA bilang tanaman jagung di Singkawang tak bagus?” cetusan ini terlontar dari mulut pak Puji, Yatno dan Slamet sebulan lalu ketika jagungnya berumur 63 hari. Mereka bangga karena kondisi jagungnya yang subur, dengan tinggi tanaman lebih 2 meter. Penuturan mereka menyimpulkan bahwa kelompok tani ”Sarilada” yang dimotorinya mampu mensukseskan komoditas jagung sebagai salah satu tanaman andalan di Singkawang.
Lokasi penanaman jagung poktan Sarilada ada dibilangan Kelurahan Roban, tepatnya di Lekok. Dulu waktu booming komoditas lada, disitulah warga Singkawang rame-rame bertanam lada. Karena hancur oleh penyakit Kuning, maka lada jadi tiada. Lalu, lahan dibiarkan kosong belasan tahun. Kini mulai dilirik lagi.
Tanaman jagung pak Puji sendiri seluas 2 hektar boleh dikata cukup berhasil. Menurut perhitungannya waktu panen mencapai 6,1 ton perhektar pipilan kering. Harga jual Rp. 1.500/kg, sedangkan biaya produksi dan upah-upah mencapai Rp. 3,95 juta perhektar.
”Ya, lumayan juga meskipun belum puas dengan hasil ini. Sebab ketika mau panen, kira-kira 20 hari lagi, tanaman jagung kami rebah diterpa angin kencang. Jadi pengisian butiran kurang penuh. Kalau tak rebah atau tumbang mungkin bisa mencapai 7 atau 8 ton satu hektar.” katanya optimis dan masih ingin mengulang tanam lagi.
”Hanya tentang harga, pak Yanto, jagung nih masih ada masalah . . . . ” katanya tersenyum lirih kepada kami dari BPP Singkawang. ”Oya,” jawab kami tersenyum sambil terangguk-angguk. ”Kami lagi berjuang, pak Puji, untuk menggolkan agar ada HPP regional atau lokal untuk harga jagung dan padi ini.” kata kami sungguh-sungguh.
Memang petani jagung di Singkawang umumnya mengeluh tentang harga yang sering gonjang-ganjing. Mereka mengidamkan ada harga standard pembelian yang dipatok dan berlaku lokal oleh pemerintah. Dengan begitu setiap petani bisa berkalkulasi, dan HPP ini merupakan garansi dalam berinvestasi. Sebenarnya mereka juga investor, perlu diciptakan ’iklim’ berusaha.
”Kami akan jual jagung menunggu harga bagus,” kata Puji lagi, ”Sebab sebulan lalu mencapai Rp. 2.200 perkilogramnya. Jadi bisa saya simpan dulu, toh jagung bisa disimpan lama,” katanya. ”Yang penting juga perlu bantuan dryer, pak Yanto,” tambah pak Yatno di sebelahnya, ”Sebab kalau hujan terus tak bisa jemur, pak Yanto. Jagung kami bisa tumbuh dalam tongkol he he he .... !.”
Dengan telah adanya bukti kesuburan dan berhasilnya tanaman jagung, kini lahan di Lekok Roban mulai digarap lagi. Misalnya di blok lain, masih Lekok, ada sejumlah PNS garap seluas 10 hektar mau tanam jagung. Maka kalau sore-hari, banyak ’petani’ yang menyambangi dan menggarap lahan di Lekok-Roban.
Tanaman jagung pak Puji terbilang unik, terutama dari jarak tanamnya. Ia meniru ala Gorontalo, seperti yang pernah disuluhkan penulis. Menurut cara dan tehnis di Gorontalo jarak tanamnya 100 cm x 15 cm x 15 cm. Dengan kata lain: jarak antar barisan 100 cm ( 1 meter), kemudian dalam barisan ada tanaman 15 cm x 15 cm dan membentuk bujur sangkar. Singkatnya ada dua baris dengan jarak sama, yakni 15-15 (lihat Photo). Dengan begitu dalam satu hektar ada tanaman 70.000 sampai 85.000. Dengan cara seperti ini, di Gorontalo tepatnya di Randangan Kab Pahuwato menghasilkan 14.740 kg jagung pipilan berkadar air 17 %. Berarti setiap tongkol jagung bermuatan 200 gram pipilan kering. Cukup fantastis, bukan?
Tanaman jagung pak Puji utamanya dipupuk dengan bahan organik, yakni menggunakan kotoran sapi dan ayam. Dosis pupuk kotoran sapi (TS) sebanyak 130 karung dan ayam (TA) 20 karung perhektarnya. Sedangkan dosis pupuk kimianya cukup dengan pupuk urea 200 kg/ha, WSP-36 sebanyak 75 kg dan Kcl 50 Kg saja.
Aplikasi pemupukan dasar diberikan 3 hari sebelum tanam (dalam larikan), yaitu pupuk kandang seluruhnya, juga pupuk Urea 1/3 bagian, WSP-36 seluruhnya dan Kcl setengah bagian. Pemupukan susulan dilakukan pak Puji sambil membumbun tanaman, yaitu pada saat tanaman berumur 21 hari dengan 1/3 bagian Urea dan pupuk Kcl ½ bagian, serta pemupukan terahir dengan Urea 1/3 bagian ketika tanaman jagung berumur 42 hari setelah tanam.
Menurut pengamatan Puji, tanaman jagung yang dipupuk kotoran sapi, tektur daun dan batangnya cukup bagus. Daunnya hijau tua dan sehat, batang kokoh dan cukup besar. Selain itu menurutnya, tanaman jagung akan tumbuh baik bila pupuk organis (sapi/ayam) diberikan 3 hari sebelum tugal/tanam.
Memang ia membandingkan beberapa baris dengan perlakuan berbeda. Ada beberapa baris pemupukan organiknyanya melulu dengan TA (Kotoran Ayam). Ada tanaman yang pemupukannya dicampur TA dan TS. Juga ada pupuk kandang diberikan setelah tanaman tumbuh berumur 5 – 7 hari setelah tanam. Akhirnya Puji berkesimpulan, bahwa pemamfaatan pupuk kandang asal sapi harus dimulai dari sekarang. Karena memperbaiki struktur, tektur dan biologis dalam jangka panjang. Sedangkan TA bersifat instans.
”Sangat sayang kotoran sapi dibuang atau dibiarkan begitu saja, bahkan rugi kalau hanya untuk dibakar. Juga tanaman lebih press, bahkan sekarang orang suka produk organik,” katanya.
Hamparan jagung pak Puji dkk di Lekok-Roban memang berpencar, namun berkat penyuluhan yang intens dari para penyuluh pertanian, maka luasan areal terus bertambah. Karena sudah tahu, bahwa kebutuhan jagung bagi usaha peternakan ayam di Singkawang tak kurang 100 - 110 ton sehari. Sedangkan pada saat ini produksi petani Singkawang hanya mampu mensuply untuk 32 hari saja dalam setahunnya. Jadi selebihnya dipasok dari luar Singkawang. Bisa dibayangkan populasi ayam di Singkawang mencapai 3 juta ekor dalam setahun. Dan tak heran jika memerlukan jagung sebanyak itu, karena dalam komposisi pakan ayam, jagung bisa mencapai 52 %. Ini peluang usaha, karena Skw perlu banyak jagung. ***

MEMBANGUN LUMBUNG AGRIBISNIS

KETAHANAN pangan identik dengan stabilitas pangan, yakni tercukupinya pangan dan keterjangkauan daya beli masyarakat, sehingga tidak menimbulkan ekses negatif (berupa keresahan) bagi konsumen dan kesesuaian harga yang diterima oleh produsen (dalam hal ini petani), bahkan dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Ketahanan Pangan bisa terkondisi apabila dari tahun ke tahun adanya peningkatan produksi dibarengi mutu, guna mengimbangi pengembangan jumlah penduduk. Selain itu adanya ikhtiar dari masyarakat dalam diversifikasi konsumsi pangannya serta pengembangan usaha dan pengolahan pangan.

Upaya membangun ketahanan pangan adalah upaya bagaimana memajukan pertanian sub sektor tanaman pangan. Dalam kontek ini adalah bagaimanana usaha menitikberatkan kepada peningkatan produksi padi, jagung, kedele, serta bahan alternatif serta pengembangannya dengan pendekatan komoditi dan kualitas.
Sementara ini komoditas tanaman padi yang kemudian dijadikan beras masih mendominasi perhatian dan kebutuhan sebagian penduduk Indonesia. Namun disisi lain sebagai makanan pokok ini, beras masih belum bisa mengkatrol kesejahteraan petani sebagai produsennya. Dengan kata lain, kendati beras ini “terkadang” diakui sebagai komoditas politik dan ekonomi masih belum dapat memberikan nilai tambah yang layak bagi kehidupan petani. Namun program ketahanan pangan di Kalbar pada saat ini turut tergenjot dengan telah dicanangkannya revitalisasi pertanian dalam arti yang luas. Hal ini mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual; dalam arti menyegarkan kembali vitalitas; memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.
Faktor kuncinya ialah peningkatan dan perluasan kapasitas produksi melalui renovasi, penumbuh-kembangan dan restrukturisasi agribisnis, kelembagaan maupun infrastruktur penunjang. Peningkatan dan perluasan kapasitas produksi diwujudkan melalui investasi bisnis maupun investasi infrastruktur.
Program peningkatan ketahanan pangan (KP) secara spesifik untuk memberikan fasilitasi bagi terjaminnya masyarakat memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Adapun harapan yang ingin dicapai adalah: (1) dicapainya ketersediaan pangan tingkat nasional, regional dan rumah tangga yang cukup, aman dan halal, (2) meningkatnya keragaman produksi dan konsumsi pangan masyarakat, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah kerawanan pangan. Rencana tindak program peningkatan ketahanan pangan yang utama antara lain: (1) Intensifikasi dan ekstensifikasi produksi komoditas pangan pokok, (2) Pengembangan sumber pangan alternatif lokal, (3) Pengembangan pola konsumsi pangan lokal non-beras, (4) Fasilitasi subsidi input produksi, (5) Perumusan dan penetapan kebijakan harga pangan, (6) Pengelolaan tata niaga pangan, (7) Penyusunan dan penerapan standar kualitas dan keamanan pangan, dan (8) Pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Program ketahanan Pangan juga secara seimbang mengupayakan perbaikani tingkat pendapatan produsen, sekaligus peningkatan kesejahteraan petani. Hal ini diarahkan untuk memfasilitasi peningkatan pendapatan petani melalui pemberdayaan, peningkatan akses terhadap sumberdaya usaha pertanian, pengembangan kelembagaan, dan perlindungan terhadap petani. Sedangkan harapan yang ingin dicapai adalah: (1) meningkatnya kapasitas dan posisi tawar petani, (2) semakin kokohnya kelembagaan petani, (3) meningkatnya akses petani terhadap sumberdaya produktif; dan (4) meningkatnya pendapatan petani.
Peningkatan kesejahteraan petani menurut perfektif petani sebagai produsen bisa melalui : (1) Penguatan kelembagaan penyuluhan dan pertanian di perdesaan, (2) Pengembangan diversifikasi usaha rumahtangga berbasis pertanian, (3) Advokasi penataan hak pemilikan, sertifikasi dan pencegahan konversi lahan, (4) Perumusan kebijakan penataan, pemanfaatan dan pajak progresif lahan, (5) Pemberian insentif usaha dan promosi investasi, (6) Fasilitasi investasi dan kemitraan usaha, (7) peningkatan infrastruktur perdesaan, dan (8) Pengembangan model kelembagaan usahatani berbasis inovasi pertanian.
Beras sebagai komoditas politik dan ekonomi bagaimanapun juga harus ditangani terpadu untuk meningkatkan harkat hidup petaninya. Untuk itu strategi ketahanan pangan “beras” harus dipadukan dengan pengembangan agribisnisnya. Daerah pertanian penghasil padi harus dibangun berdasarkan daerah Sentra Produksi atau Kawasan Produktif padi, lalu dikembangkan menjadi usahatani sebagai sumber pendapatan utama bagi petaninya. Sementara daerah Non Sentra Produksi atau Kawasan Tidak/Kurang Produktif dikembangkan menjadi usahatani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi petaninya.
Untuk meningkatkan pendapatan petani penghasil padi/gabah di daerah sentra produksi Kalbar, perlu dibangun infrastruktus sawah yang lengkap yang difasilitasi pemerintah agar menjadi kawasan produktif dan pengelolaannya harus dengan perhitungan bisnis. Untuk itu, kawasan ini perlu dikembangkan Kelembagaan Agribisnis atau dinamakan Lumbung Beras Agribisnis. Sedangkan untuk kawasan non produktif dikembangkan Kelembagaan Lumbung Beras Desa yang berfungsi sebagai penyediaan cadangan pangan pada masa paceklik / kritis pangan.
Lumbung beras agribisnis, karena bersifat bisnis, harus dikembangkan dengan modal usaha pinjaman, sementara lumbung beras desa dikembangkan dengan modal usaha bantuan. Karena beras sebagai komoditas Politik, maka pendapatan petani harus ditingkatkan (aspek ekonomi) melalui kebijakan Subsidi Hasil Gabah, bukan subsidi sarana produksi. Hal ini guna mensuport langsung kepada pemain atau pelaku yang sebenarnya, sehingga dirasakan secara riil oleh petani.
Untuk meningkatkan pendapatan petani pada prinsipnya adalah meningkatkan produktivitas dan kualitas gabah/beras dan meningkatkan efisiensi usahatani. Berkaitan hal ini, menurut penulis diperlukan kegiatan strategis yang sangat prioritas, yaitu Peningkatan Kualitas Infrastruktur Sawah dan Peningkatan Kualitas Sarana dan Infrastruktur Pengolahan Hasil di daerah-daerah sentra produksi.
Membangun infrastruktus sawah yang lengkap diperlukan guna meningkatkan produktivitas dan kualitas padi dan meningkatkan efisiensi usahatani, namun memerlukan data/informasi sawah yang akurat dan biaya pembangunannya perlu dana besar. Oleh karena itu, prioritas utama yang perlu dilaksanakan adalah peningkatan Kualitas Sarana dan Infrastruktur Pengolahan Hasil. Tujuannya untuk memberikan nilai tambah petani melalui penjualan beras, bukan jual gabah. Menurut pengamatan petani akan mendapat nilai tambah ± 20% jika jual beras.***

Souvenir Kota Singkawang

Saat berkunjung ke sebuah Kota Pariwisata, selain mengunjungi objekwisata tentunya para wisatawan akan mencari souvenir untuk oleh-oleh pulang ke daerah asalnya. Kota Singkawang memiliki beberapa lokasi yang khas untuk mendapatkan souvenir tersebut.
Satu diantaranya Pasar Hongkong, demikian masyarakat Singkawang menyebutknya. Pasar ini menggambarkan kehidupan kota Singkawang yang tidak pernah tidur di malam hari, aktivitas pasar ini dimulai dari senja hingga dini hari.
Terletak ditengah kota, sepanjang jalan Setia Budi termasuk beberapa perempatannya. Menyediakan makanan dan minuman yang bervariasi dengan harga yang tidak terlalu mahal.

Perkebunan Jeruk.
Perkebunan jeruk berada di beberapa kelurahan di kota Singkawang yang berjarak 7 - 10 km dari pusat kota, kebun jeruk ini dapat di jadikan tempat yang tepat untuk bersantai sambil menikmati jeruk yang langsung di petik dari pohonnya.
Selain di perkebunan, buah jeruk juga banyak dijual di pasar buah tradisional yang letaknya tidak jauh dari pasar Hongkong.

Keramik.
Pembuat keramik berada di daerah Sekok Sedau, sebelah selatan kota Singkawang, pembuat keramik merupakan keterampilan masyatakat Tionghoa yang didapat secara turun temurun. Berbagai motif yang dihasilkan dari keramik Sekok Singkawang, antara lain adalah motif Bunga Mawar, Naga, Delapan Dewa serta motif-motif lain yang mencerminkan tradisi dan kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa.
Para pengrajin juga dapat membuat motif keramik sesuai dengan yang diinginkan dan juga bersedia mengirimkan keramik yang dibeli sampai ke tempat pembeli.
Proses pembuatan keramik secara tradisional dari tanah di sekitar Singkawang yang banyak mengandung koalin dicampur air. Tanah diaduk hingga merata, lalu diolah sesuai bentuk yang diinginkan. Setelah keramik jadi, ditambah ornamen sesuai motif lalu diglasier untuk pewarnaan. Selanjutnya keramik di bakar dengan menggunakan Tungku Naga. Konon kabarnya, Tungku Naga ini hanya ada di Singkawang dan dapat membakar keramik hingga suhu 2000 derajat celcius. Dari proses pembakaran itu kramik yang telah diglasier akan mengeluarkan warna sesuai dengan yang diinginkan.
Lokasi Penjualan Keramik hamir terletak pada Jalan Raya Sedau diantaranya Keramik Sinar Terang, Keramik Dinamis, Keramik Borneo Lentera, Keramik Semangat Baru.

Manisan Kelimbauan.
Singkawang juga dikenal sebagai penghasil manisan kelimbauan. Buah kelimbauan diolah secara tradisional, dimulai dengan merendam buah kelimbauan dalam air garam, lalu direndam lagi dengan air gula selama beberapa hari untuk memberi rasa manis, selanjutnya proses pengeringan di jemur dengan sinar matahari.
Rasa manisan kelimbauan yang asam manis dapat menyegarkan pengunjung yang telah lelah menikmati berbagai objek wisata maupun event - event budaya di Kota Singkawang.

Mie Tiau.
Dengan persentase penduduk Tionghoa yg mencapai 42 %, tentunya makanan khas masyarakat Tionghoa ini memperkaya aneka makanan yang ada di kota Singkawang, salah satunya adalah Mie Tiua. Berbagai produk mie, baik bentuk maupun harga, sehingga cocok untuk oleh-oleh keluarga atau rekan wisatawan yang datang ke kota Singkawang.
Salah satu pembuat mie dikota Singkawang adalah Mie Kembang Dua Se Fui terletak di jalan Kridasana No. 23 Singkawang.

Tahu.
Tahu Singkawang terkenal gurih dan nikmat, rasa tersebut didapat dari proses pembuatan kacang kedelai menjadi tahu yang diolah secara tradisional tanpa menggunakan bahan pengawet, sehingga tahu yang dihasilkan benar-benar aman untuk dikonsumsi. Tahu tersedia di pasar tradisional yang ada di Singkawang maupun langsung datang ke tempat pembuatannya.
Pembuatannya dilakukan secara home indsutri yang terdapat di Jalan Antasari Gang Satelit, Jalan Yohana Godang.
Untuk memeudahkan para pembeli, biasanya para penjualan menempatkannya pada ember plastik berkapasitas antara 60-200 buah tahu. Saat ini, harga tahu Singkawang dipasaran Rp. 500. Bila konsumen membeli langsung di agen untuk oleh-oleh, harga tahu dipatok Rp. 400
Karena permohonan terhadap tahu tersebut begitu banyak, maka diharapkan kepada pembeli untuk memesan beberapa hari sebelum pengambilan.

Kue.
Singkawang juga menyediakan berbagai jenis kue yang biasa digunakan masyarakat Tionghua dalam melakukan berbagai ritual maupun yang biasa disajikan pada hari raya maupun pada hari biasa. Kue - kue tersebut, misalnya kue kerenjang, kue bulan, nyanko coklat, nyanko wijen, nyanko isi tausa.
Kue kue tersebut tersedia di toko-toko kue yang ada di Singkawang maupun langsung datang ke tempat pembuatannya. Salah satu pembuat Kue Bulan adalah Sauchong yang terletak di jalan Pastoran No. 5 Singkawang.

Choi Pau Pan.
Kue sejenis lumpia basah berbentuk segi tiga. Makanan khas masyarakat Tionghoa.Makanan ini lebih nikmat bila dipadukan dengan sambal cair botol. Makanan ini terbuat dari tepung berisikan bengkoang tumis, rebung tumis, atau daun bawang. Makanan ini mudah diproleh di warung-warung kopi di Kota Singkawang.

MU LIHAT YA TERSERAH ANDA

MU LIHAT YA TERSERAH ANDA
Jika Anda Mengklik Akan Dibawa Ke Web ini